Desember 2015,
Jalan-jalan direncanakan dan bersama keluarga itu sudah biasa, tapi jalan-jalan sambil tugas dari kantor ini sedikit luar biasa. Karena tuntutan pekerjaan terkadang saya harus bepergian ke luar kota, termasuk pada pertengahan Desember 2015 saya harus bertugas selama 3 hari ke Gorontalo, provinsi pemekaran dari Sulawesi Utara.
Dari Jakarta saya dan teman-teman kantor memang sudah berencana untuk mengunjungi beberapa tempat wisata setelah kerjaan kantor selesai, dan karena lokasi acara kantor di Kecamatan Wanggarasi, kabupaten Pohuwato, Gorontalo Utara, maka lokasi wisata yang akan kami datangi pertama setelah tugas selesai adalah "Toroseaje" perkampungan suku Bajo, yang lokasinya sekitar 1 jam dari Wanggarasi.
Perkampungan suku Bajo Toroseaje cukup unik dan banyak menarik wisatawan untuk mendatangi lokasi ini meski jaraknya cukup jauh dari kota Gorontalo, tepatnya di sisi Barat Kota Gorontalo. Toroseaje merupakan perkampungan Suku Bajo yang
berdiri di atas permukaan laut, uniknya ternyata Kampung Suku Bajo Torosiaje
ini sudah ada sejak 1901. Suku Bajo sendiri memang sejak dahulu kala dikenal
sebagai pelaut tangguh dan selalu tinggal dirumah yang
berdiri diatas laut.
Menuju kawasan pemukiman suku Bajo ini kita harus harus menggunakan perahu karena tidak ada akses jalan darat. Mobil yang kita gunakan bisa diparkir di dermaga dan kita harus berjalan di dermaga Torosiaje, disini pengunjung akan disambut ojek perahu yang banyak bersandar di dermaga. Setelah tawar menawar, maka kami sepakat per orang PP menggunakan perahu @Rp 20.000,- dan satu perahu kecil bisa diisi 5 orang penumpang. jarak tempuh dari dermaga menuju Toroseaje hanya sekitar 15 menit.
![]() |
perahu menuju Toroseaje |
![]() |
perahu dg 4 penumpang |
Sesampainya di kampung suku Bajo, kamipun tak sabar segera menaiki tangga dan menyusuri rumah panggung yang tersambung oleh jalan/gang yang semuanya terbuat dari kayu. Setiap rumah terhubung dengan koridor yang
menjadi jalan utama, dan di jalan utama itupula beberapa kegiatan dilakukan oleh warga seperti menjemur pakaian atau menjadi area bermain anak-anak. Menurut sejarahnya Toroseaje berarti : toro dalam bahasa
Bajo adalah ’tanjung’ dan siaje merupakan julukan kepada seseorang yang
berarti ’si aje’ (si haji). Artinya, Torosiaje adalah tanjung yang
ditemukan oleh seorang pria bergelar haji dan dipanggil siaje. Usai mengunjungi Toroseaje tentu tak lupa photo-photo, kamipun kembali menuju kota Gorontalo yang kami tempuh dalam waktu sekitar 4 jam.
![]() |
jalan utama rumah panggung Toroseaje |
![]() |
diantara jalan penghubung antar rumah Toroseaje |
![]() |
di atas Bagan, Toroseaje |
Keeseokan harinya sesuai agenda kami akan mengunjungi Pulau Saronde di Gorontalo Utara, Pulau yang katanya memiliki pantai bersih dan pasir yang putih. Jarak dari Kota Gorontalo sekitar 1 jam perjalanan darat menuju Kota Kwandang. Sesampai di Pelabuhan Kwandang kamipun menawar perahu menuju Pulau Saronde dan disepakati untuk perjalanan PP Rp 250.000,-/perahu dengan waktu tempuh 30 menit. Pulau Saronde sendiri merupakan pulau
kecil tak berpenghuni yang mengandalkan potensi pesona alam.
Pulau yang terletak di utara Teluk Kwandang, Kabupaten Gorontalo
Utara ini mulai dikenal luas karena mampu memikat hati para turis
domestik maupun mancanegara.
![]() |
pelabuhan Kwandang |
![]() |
perahu menuju Saronde |
Dan benar saja seperti yang sudah banyak ditulis, sesampainya kami di Pulau Saronde hanya decak kagum yang bisa kami lakukan melihat langsung keindahan perairan di sekitar Pulau Saronde yang bersih dan tidak tercemar oleh
sampah. Di Pulau tak berpenghuni yang tetap terjaga kebersihannya ini sangat cocok berenang, berselancar, menyelam, atau snorkeling. Sayang karena sampai di Pulau tsb pk 11.00 WITA saat matahari sangat menyengat, kami hanya mencoba snorkling di sekitar pantai dengan menyewa peralatan snorkling seharga Rp 25.000,-/2 jam dan tentu saja photo-photo. Jika saja kami datang lebih pagi, tentu bisa lebih banyak aktivitas air yang bisa dilakukan serta menyusuri Pulau Saronde yang bersih ini.
![]() |
Pulau Saronde |
![]() |

Dari Pulau Saronde dalam perjalanan kembali ke Hotel kami menyempatkan untuk mampir ke Kompleks Benteng Otanaha yang terletak di atas bukit
desa Dempe, Gorontalo. Konon Benteng ini merupakan peninggalan bersejarah yang dibangun
oleh Portugis pada abad ke 15. Bangunan yang keseluruhannya terdiri dari
tiga buah benteng (Benteng Otanaha, Benteng Otahiya, dan Benteng
Ulupahu) ini dibangun sebagai wujud kerjasama antara Portugis dengan
Raja Ilato yang berkuasa pada tahun 1505 – 1585. Keunikan dari benteng ini karena konon bangunanya terbuat dari campuran kapur dan
putih burung aleo. Dan keunikan lainnya karena letaknya berada dipuncak bukit maka dari
benteng ini wisatawan dapat melihat pemandangan Danau Limboto.
Setelah membayar tiket masuk @Rp 5000,- kamipun menuju Benteng Otanaha salah satu dari 3 benteng di komplek tsb. Sepanjang mata memandang, mata dimanjakan
pemandangan yang bagus karena lokasi benteng yang berada di ketinggian memungkinkan kita melayangkan pandangan ke berbagai arah. Benteng ini konon dibangun oleh pejuang-pejuang Gorontalo sebagai
benteng pertahanan untuk melawan Belanda. Konstruksi benteng berbentuk
bulat dengan pondasi dari batu-batu alam. Tinggi benteng sekitar 7 meter
dan diameter benteng sekitar 20 meter.
Untuk mencapai benteng ini sangat mudah karena hanya 30 menit dari Kota Gorontalo
ke arah Danau Limboto. Sedangkan untuk sampai ke atas benteng wisatawan bisa berjalan kaki
melalui 1000 anak tangga atau membawa kendaraan sampai di atas bukit dan
diparkir di depan benteng.
![]() |
