Jumat, 25 September 2015

Dieng Culture Festival




31 Juli - 2 Agustus 2015


Sebenarnya sudah lama pengen banget ke dataran tinggi Dieng yang terkenal karena udaranya yang dingin, dan Alhamdulillah akhirnya kesampaian juga jalan-jalan ke Dieng bertepatan dengan acara “Dieng Culture Festival”, festival budaya yang diselenggarakan setiap tahun dan tahun ini memasuki penyelenggaraan ke-6. Dalam DCF ini, pemerintah setempat mengagendakan beberapa acara yang menarik bagi wisatawan, antara lain : jazz awan, pesta lampion dan pemotongan rambut gimbal.

Lagi-lagi seperti di perjalanan wisata sebelumnya karena tidak ingin direpotkan dengan berbagai hal selama berwisata, kami (saya dan suami) sepakat untuk ikut serta dalam paket yang ditawarkan oleh diengbackpacker. Untuk menginap selama 3 hari 2 malam per orang dikenakan biaya Rp 950.000,-, biaya tsb sudah termasuk : penginapan (home stay) karena di dieng belum ada hotel, makan sehari 3 kali, antar jemput dari Purwokerto, dan beberapa tiket masuk ke obyek wisata. Dalam paket tsb, tiap orang juga mendapatkan goodie bag yang di dalamnya terdapat kaos DCF, ID card utk masuk ke beberapa lokasi acara, kain batik utk digunakan pada upacara pemotongan rambut gimbal, gantungan kunci dan buku panduan acara. Rupanya pemerintah setempat sudah bekerjasama cukup baik dengan beberapa tour travel dalam penyelenggaraan DCF. 

Sebenarnya diengbackpacker juga menawarkan paket dengan meeting point di Jakarta dengan menggunakan elf sebagai moda transportasi ke dieng, namun karena membayangkan naik mobil akan cukup melelahkan selama perjalanan menuju dieng yang terletak 30 km dari kota Wonosobo, tepatnya di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, maka  kami memutuskan naik kereta api ke Purwokerto dan akan dijemput/diantar oleh EO di stasiun.

Dari Jakarta Jum’at pagi, kami naik kereta argo dwipangga dari staisun gambir pk 08.00 WIB dan setelah menempuh perjalanan selama 5 jam kami sampai di stasiun Purwokerto. Oh ya, dalam perjalanan kali ini Suska teman kantor ikut serta bersama Andri suaminya, keduanya asal Purwokerto dan sudah berangkat lebih dulu kamis malam, dan kami janjian ketemu di stasiun untuk dijemput Nur/driver sekaligus tour guide selama kami di Dieng. Setelah makan siang di soto jalan bank yang cukup terkenal itu, tanpa membuang waktu kamipun melanjutkan perjalanan ke Dieng yang memakan waktu sekitar 4 jam. Sesampai di Dieng, setelah makan malam kamipun langsung istirahat di rumah penduduk yang dijadikan home stay. Rumahnya cukup bersih dan terutama terdapat air panas, gak kebayang harus mandi air dingin di Dieng yang memiliki ketinggian sekitar 2000 m di atas permukaan laut, membuat udara di tempat ini dingin apalagi saat ditutupi kabut tebal. Suhu di Dieng berkisar antara 12—20°C di siang hari dan 6-10°C di malam hari. Bahkan pada musim kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara dapat mencapai 0°C di pagi hari dan memunculkan embun beku. 

Seteklah istirahat sejenak dan makan malam, kami berangkat menuju kawasan candi Arjuna, lokasi diadakannya Jazz Awan. Sayang pintu masuk dan keluar areal pertunjukan tidak dipisah, sehingga penonton harus berdesakan di pintu masuk dan keluar areal tsb. Tidak lama kami menonton jazz awan ini, karena memang artis/band nya kurang kami kenal yang tampil malam itu.

Sabtu dinihari pk 03.00 WIB sesuai janji dengan Nur, tour guide kami selama di Dieng, kami berangkat menuju bukit Sikunir untuk melihat sunrise (matahari terbit) yang  merupakan fenomena alam yang unik dan mengagumkan  melihat matahari terbit berwarna keemasan. Sayangnya  putri kami Narissa tidak bisa ikut karena perjalanan panjang kemarin membuat dia sedikit mabuk darat, sementara Suska dan Andri juga tidak ikut karena takut kecapekan mengingat perjalanan ke bukit Sikunir cukup melelahkan. Sesampai di bukit Sikunir meski hari masih gelap namun ratusan wisatawan dengan tujuan yang sama sudah memenuhi kawasan ini. Rasanya sudah putus asa saat harus mendaki bukit Sikunir selama 1 jam, namun rasa penasaran membuat saya bertekad untuk bisa sampai di puncak bukit. Benar saja, sesampai di atas bukit menunggu sekitar 30 menit, perlahan-lahan matahari mulai muncul di balik awan yang mengelilingi 5 gunung (Sumbing, Sindoro, Prahu, Pakuwaja dan Sikunir), pemandangan yang luar biasa. Dari bukit Sikunir kami kembali ke hoem stay untuk sarapan, mandi dan istirahat sebentar sebelum memulai perjalanan ke lokasi-lokasi wisata lainnya.

Usai santap siang, kami ber-6 memulai lagi perjalanan menuju Dieng Plateau Theater,  bangunan seperti bioskop yang menampung 100 kursi,  kami menonton informasi keajadian alam di sekitar Dieng.  Informasi yang cukup menarik diantaranya tentang asal muasal kata Dieng dari bahasa Sansekerta yaitu  “Di”  yang berarti tempat yang tinggi dan ”Hyang” yang artinya tempat para dewa dewi (tempat kediaman para dewa dan dewi), Anak Gembel/ anak Gimbal, anak yang memiliki rambut gimbal yang jika rambut tsb dipaksakan dipotong maka si anak akan cenderung sakit-sakitan, sehingga diperlukan ritual khusus untuk memotong ranbut anak gimbal ini. Anehnya rambut gimbal anak-anak ini  tidak secara alami tumbuh ketika mereka dilahirkan, namun tumbuh saat usia mereka menginjak 1-2 tahun. Di Dieng Plateau Theater penonton juga mendapat informasi tentang bencana uap beracun kawah Sinila yang terjadi tahun 1979 yang menewaskan ratusan warga. 

Usai dari Dieng Plateau Theater, atas ajakan Nur/tour guide,  sebenarnya saya tertarik untuk ikut mendaki bukit di areal theater tsb untuk melihat pemandangan spektakuler dari Batu Ratapan Angin, namun  mengingat lutut saya yang pernah cidera, maka hanya suami dan putri bungsu kami yang mendaki ke Batu Ratapan Angin. Benar saja, melihat hasil poto-poto mereka berdua menyesal saya tidak ikut naik, ternyata dari atas pemandangannya sangat indah bisa melihat dua telaga/danau dengan warna berbeda.

Perjalanan kemudian diteruskan ke Telaga Warna, yaitu telaga dengan  warna air yang sering berubah-ubah, terkadang berwarna hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi. Fenomena ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat terkena sinar matahari maka warna air telaga berubah-ubah. Di sekitar Telaga Warna Dieng tedapat beberapa gua lokasi pertapaan yang juga patut untuk dikunjungi, seperti Gua Semar, Gua Sumur Eyang Kumalasari, dan Gua Jaran Resi Kendaliseto. Gua-gua di sekitar telaga warna ini konon sering dijadikan sebagai tempat meditasi. Usai dari telaga warna, kamipun pulang dulu ke home stay untuk mandi dan santap malam sebelum menonton pesta lampion.

Sedikit terlambat kami menuju areal pesta lampion yang juga diadakan di komplek candi Arjuna, karena sesampai disana ratusan lampion sudah mengudara disertai sesekali lontaran kembang api di udara. Karena kami sudah membayar paket untuk ikut dalam pesta lamion, maka kamipun mendapat satu lampion untuk satu orang. Agar tidak penasaran, satu lampion kami coba terbangkan ke udara konon saat menerbangkan disertai dengan harapan masing-masing. Saat pulang merupakan saat yang membuat kami harus geleng-geleng kepala karena jalanan di sekitar lokasi pesta lampion macet parah. Kami bahkan harus menunggu 2 jam sebelum driver bisa menjemput kami di satu tempat yang sudah disepakati. 

Minggu pagi, sesuai kesepakatan bersama kamipun langsung chek out dari home stay menuju kawasan Candi Arjuna untuk melihat prosesi pemotongan rambut gimbal. Sayangnya jadwal yang ada di buku panduan molor cukup lama, prosesi yang seharusnya dimulai pk 08.00 WIB mundur menjadi pk 11.00 WIB, sehingga kami hanya bisa melihat prosesi perjalanan ke-10 anak gimbal yang diarak menuju lokasi pemotongan rambut, karena kami harus sampai di Purwokerto sebelum pk 16.00 WIB (jadwal kereta kami pulang ke Jakarta).  Arak-arakan ini cukup meriah seperti kirab, diawali dengan iringan berkuda hingga barang-barang yang diinginkan anak gimbal sebelum rambut mereka dipotong. Oh ya, sebelum anak-anak gimbal ini meminta sendiri rambutnya dipotong, mereka juga mengajukan permintaan diantaranya ada yang minta dibelikan sepeda, kambing dll. Cukup puas melihat arak-arakan anak gimbal ini, kamipun langsung menuju Purwokerto untuk kembali ke Jakarta dengan kereta api Purwojaya.

Telaga Warna
komplek Candi Arjuna
view dari Bukit Ratapan Angin
Pesta Lampion
Sunrise di Bukit Sikunir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar