Senin, 24 November 2014

Nonton Jazz Ubud, Bali

Alexandre Cunha
Panggung Utama Giri

GWK
GWK


Traik Kecak @ Pura Uluwatu


Dream Land Beach


Pandawa Beach
Bali Culture Centre





Tegalalang


Nonton Jazz Lesehan



Agustus 2014, 

Sebenernya ke Bali kali ini bukan cuma mau nonton Jazz Ubud aja sih,  tapi anak-anak  beberapa kali minta jalan-jalan ke Bali (lagi). Terakhir kami sekeluarga ke Bali klo gak salah pasca Bom Bali tahun 2005. Nah, sekalian ke Bali pas juga ada acara “International Ubud Village Jazz Festival”. teteup ya, beberapa bulan sebelum pergi buat dapet harga murah kita  browsing tiket penerbangan dan penginapan. Lumayan untuk tiket penerbangan kami dapat harga 1 juta rupiah/orang pp, dan untuk penginapan di Kuta kami dapat harga 400 ribu/malam. Ubud Jazz Festival sendiri berlangsung tanggal 8-9 Agustus 2014, dan kamipun sepakat untuk berlibur dari tanggal 7-10 Agustus, supaya bisa nonton festival jazz dan bisa juga ke lokasi wisata lainnya. 

Kamis, 7 Agustus 2014, brangkatlah kami dengan penerbangan pagi, sengaja pilih pagi supaya sampai di Bali bisa langsung jalan-jalan, hehe. Oh ya, sebelumnya kita juga sudah membeli voucher menyewa kendaraan dari sebuah situs jual beli ternama, lumayan murah sih (250 ribu utk 8 jam),  lebih dari 8 jam membayar biaya kelebihan setiap jam nya Rp 50.000,- blm termasuk tip dan uang makan buat supirnya. Dan kita juga udah beli tiket early bird untuk masuk ke arena Festival Jazz Ubud, tiket terusan 2 hari dengan harga Rp 250.000,-/orang untuk 2 hari.

Sesampai di bandara Ngurah Rai,  Pak Made (supir sewaan selama kami di sini) sudah siap menjemput. Oh ya, sempet takjub juga liat bandara ini yang sekarang sudah lebih luas dan asli bagus banget, ornamen-ornamen khas Bali-nya itu loh mewarnai hampir seluruh sisi bandara. Keluar dari bandara hal pertama yang kami tanyakan ke Pak Made adalah warung makan terdekat,  maklum dari rumah belum sempat sarapan, maka jadilah kami dibawa Pak Made ke warung nasi pedas Bu Andika (yg terkenal karena sambelnya yang pedes). Selesai sarapan kok ya mata ini ngeliat aja sih papan nama Jogger di seberang warung. Tanpa buang waktu kami sempatkan cuci mata sebentar di toko Jogger, toko yang terkenal akan kaos dengan kata-kata nyelenehnya. 

Tujuan berikutnya sesuai jadwal yang sudah kami buat bersama sebelumnya, yaitu menuju Garuda Wisnu Kencana (GWK),  taman budaya seluas 240 hektar yang berada di Jalan Raya Uluwatu. Daya tarik utama GWK adalah patung Garuda Wisnu yang dibangun dan diukir oleh pengukir dan pematung terkenal I Nyoman Nuarta. Di kawasan itu terdapat juga Patung Garuda yang letaknya tepat di belakang Plaza Wisnu setinggi 18 meter.  Di areal GWK ini selain terdapat lapangan rumput luas, sejumlah toko cenderamata, caffe juga terdapat Amphitheatre, dimana pada jam-jam tertentu kita bisa menyaksikan tari-tarian secara live, tanpa dipungut biaya alias gratis. 

Dari GWK, tujuan kami berikutnya adalah Pura Uluwatu untuk menonton tari kecak sambil menikmati sunset. Namun karena gak mau rugi, dari Jakarta kami sudah browsing lokasi wisata yang bisa kami kunjungi yang sejalan ke arah Pura Uluwatu. Walhasil, kami sempat mampir sebentar ke Pandawa Beach dan Dreamland Beach. Sebenernya sayang banget udah sampe pantai yang masih bersih ini gak sempet renang atau main air, yah apa boleh buat waktunya mefet. Sebenarnya Pak Made juga menawarkan untuk mengunjungi satu pantai lagi yaitu Padang-Padang Beach,  namun karena khawatir terlambat, kami menolak dengan halus tawaran Pak Made. 

Benar saja, sampai di Pura Uluwatu, sudah banyak wisatawan yang menunggu antrian untuk membeli tiket tari kecak. Untungnya kami sudah membeli tiket secara online dari Jakarta, jadi tinggal menukarkan voucher dengan tiket masuk. Saat penukaran voucher maupun pembelian tiket, kepada para wisatawan diberikan secarik kertas photo copian dalam berbagai bahasa (Indonesia, Inggris, Jepang, Cina) yang berisi sekilas cerita tentang tari kecak yang akan ditonton.  Cukup luas juga teater terbuka di Pura Uluwatu ini, cukuplah untuk menampung sekitar seribu orang penonton, dan sore itu lumayan penuh juga. Sebenarnya banyak pertunjukan tari kecak ditawarkan di berbagai tempat di Bali, namun keistimewaan jika nonton di Pura Uluwatu, kita bisa sekaligus melihat matahari yang perlahan-lahan menghilang di balik awan, karena teater terbuka tsb menghadap langsung ke laut lepas, bagussss bangettttt....

Puas dengan penampilan tari kecak, sebelum kembali ke hotel kami  makan malam di Jimbaran, sebelumnya voucher makan di tempat ini juga sudah kami beli. Namun ternyata tak seindah yang kami bayangkan. Sea food yang disajikan dalam satu piring antara lain berisi udang bakar, cumi bakar, ikan, ukurannya kecil-kecil. Yah, itulah resiko jika membeli online, terkadang photo tidak seindah aslinya. Dari Jimbaran karena hari sudah malam kami langsung meluncur ke JOCS Hotel yang terletak di kawasan kuta. Hotelnya tidak terlalu besar, tapi cukup bersih meski menu sarapan paginya sedikit sekali variasinya.

Hari ke-2 karena hari Jum’at dan agar tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk over time mobil sewaan mengingat hari ini Ubud Jazz Festival baru dibuka pk 16.00 WITA, dan memberi kesempatan suami untuk sholat Jum’at terlebih dahulu, maka kami minta pak Made menjemput di hotel pk 13.00 WITA, setelah suami selesai sholat Jum’at. Hari ini kami ke daerah Ubud untuk nonton pembukaan Ubud Jazz Festival, namun sebelum ke Arma Museum lokasi berlangsungnya acara tsb, kami sempatkan makan siang di Bebek Tepi Sawah yang terkenal itu. Setelah mengisi perut, kamipun meluncur ke ARMA (agung Ray Museum and Art) lokasi acara Ubud Jazz Festival. Acara yang berlangsung 2 hari ini memiliki 3 panggung  : Panggung Utama Giri (terletak di tengah-tengah), Panggung Padi dan Panggung Subak, serta menghadirkan sekitar 100 musisi dalam maupun mancanegara, diantaranya : Dwiki darmawan, Balawan BID Trio, dan Alexandre Cunha. Sebenernya sih saya gak ngerti-ngerti amat musik jazz, cuma jazz yang ringan aja yang saya ngerti dan bisa ikutan goyang,  misalnya saat menikmati penampilan  Alexandre Cunha, drummer asal Brasil yang ditemani si cantik nan  sexy Ana Paula Moreti, vokalisnya, nah penampilan mereka bikin badan saya goyang-goyang, juga penonton yang lain. Enaknya nonton Jazz Ubud, pertunjukan musik di udara terbuka,  bisa nonton sambil lesehan di tikar-tikar yang sudah disediakan, di kursi-kursi kayu, bahkan nonton sambil  makan makanan yang bisa dibeli di beberapa kedai yang sengaja disediakan untuk penonton. Kalau di satu panggung  musiknya kurang berkenan, kita tinggal pindah ke panggung yang lain, enak kan? Gak enaknya, karena pertunjukan di udara terbuka maka sangat tergantung dengan kebaikan alam, untung saja selama 2 hari pertunjukan hanya sekali hujan rintik-rintik turun. 

Di hari ke-3,  kami agendakan untuk mampir dulu di sebuah toko oleh-oleh yang cukup besar dan terkenal di Bali, jadi gak perlu datang ke beberapa toko untuk mencari oleh-oleh. Setelah itu kami meluncur menuju Bali Culture Centre, tidak jauh dari Ubud. Di tempat ini kita dikenalkan dengan kebudayaan Bali dari mulai lahir hingga meninggal dunia termasuk serangkaian upacara yang harus dilakukan oleh warga Bali. Asyiknya lagi, karena kebetulan kami datang berbarengan dengan rombongan turis dari Korea, maka kamipun mendapat sambutan yang cukup meriah dari mulai masuk pintu gerbang BCC, (brasa tamu agung bangettt.....). Di BCC, anak-anakpun diajak ikut menari bersama penari yang menghadirkan 3 buah tarian bagi para tamu yang datang. Puas di BCC, sebelum ke Jazz Ubud, kami menyempatkan mengisi perut di Ayam Betutu dan mengunjungi Desa Pekraman Tegallalang (daerah yang terkenal dengan sawah tersaseringnya). Kamipun gak mau kalah dengan turis asing yang naik turun sawah, meski nafas tersengal-sengal, lumayan capek juga naik turun pematang sawah yang beberapa lokasinya sangat curam. Puas photo-photo disini, kami langsung menuju lokasi Ubud Jazz Festival (hari terakhir/penutupan).

Di hari ke-4, kami sengaja mengambil jam penerbangan tidak terlalu pagi supaya tidak terburu-buru dan masih sempat melipir ke Pantai Kuta sebentar. Untungnya lokasi hotel tempat kami menginap cukup berjalan kaki sampailah di Pantai Kuta. . 

Dan akhirnya kami harus mengucapkan salam perpisahan dengan Pulau Dewata yang tidak pernah bosan untuk dikunjungi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar