Kamis, 20 November 2014

Wisata Kota Tua, Jakarta Barat







Desember 2011,

Liburan akhir tahun di dalam kota, kenapa tidak? Ternyata ada kok beberapa loaksi wisata yang bisa dikunjungi dalam sekali perjalanan, seperti yang saya lakukan bersama anak-anak. 

Setelah sepakat untuk ke Kota Tua karena putri saya yang kecil, Rissa sudah lama ingin berkunjung ke Museum Bank Mandiri, kamipun sepakat untuk menggunakan kendaraan umum. Dari rumah di Cibubur kami mencoba angkutan umum suttle bus  jurusan Blok M dengan membayar Rp 10.000,-/orang. Jadwal suttle bus  (ada beberapa jurusan) ternyata tepat waktu (ada beberapa jadwal), pk 09.30 wib kami memulai petualangan. Berhenti di halte Polda Metro Jaya, kami melalui jembatan penyebrangan yang langsung berhubungan dengan loket busway.  Perjalanan diteruskan dengan menggunakan Busway Trans Jakarta tujuan Kota dengan tariff Rp 3.500,-/orang. 

Sesampai di pemberhentian akhir halte Kota, kamipun mengikuti jalur penumpang lain melewati underpass. Melewati underpass serasa berada di Singapura, bedanya di negara tetangga underpass nya lebih bersih. Di ujung underpass, langsung kita bertemu Museum Bank Mandiri. Tanpa banyak buang waktu, kamipun menjelajahi museum ini. Koleksi yang ditampilkan Museum Bank Mandiri merupakan rekaman sejarah perkembangan dunia perbankan Indonesia. Barang-barang yang dipamerkan antara lain mesin hitung kuno, komputer dan printer yang berusia beberapa dekade, bahkan dipamerkan pula mesin ATM dari berbagai masa. Puas menjelajahi ruangan di dalam museum Bank Mandiri, kami pun bergegas menuju Museum Bank Indonesia yang letaknya bersebelahan. 

Di antara museum-museum yang ada di kawasan Kota Tua, Museum Bank Indonesia merupakan museum yang paling modern. Ruangannya dilengkapi AC dengan barang-barang koleksi yang ditata apik seperti karya seni instalasi. Untuk menambah kesan modern, ruang pamer dilengkapi pula dengan monitor layar sentuh, video, proyektor serta perlengkapan audio. Kerennnn….(itu komentar yang keluar dari Tasya, anak saya yang pertama), hehe. Museum ini merangkum sejarah Bank Indonesia sejak zaman Hindia Belanda hingga krisis moneter yang terjadi pada akhir 1990-an. Bagian yang paling menarik di museum ini adalah ruang nuministik yang memamerkan uang kertas serta koin dari berbagai zaman. Pengunjung juga bisa memasuki ruang penyimpanan deposit emas yang kini hanya diisi emas batangan tiruan. 

Museum Bank Indonesia
Museum Bank Mandiri















Setelah puas dengan 2 museum ini, kami pun beranjak ke Museum Wayang yang letaknya berdekatan dengan Museum Fatahilah. Selain menampilkan koleksi wayang kulit dan wayang golek yang sudah kita kenal, museum ini juga memamerkan wayang-wayang kontemporer serta wayang dari luar negeri. Setiap hari Minggu pada minggu kedua, minggu ketiga dan minggu terakhir setiap bulan, Museum Wayang menggelar pementasan wayang dengan dalang-dalang terkenal. keluar dari Museum Wayang, sebeneranya saya ingin  berkunjung (kembali) ke Museum Fatahilah, Museum sejarah Jakarta, sayangnya anak-anak dengan alasan sudah pernah tidak mau lagi masuk ke Bangunan Museum Fatahilah yang selesai dibangun pada 1710 dan pernah menjadi kantor gubernur Hindia Belanda. Kompleks bangunan ini cukup luas, terdiri dari bangunan utama yang mempunyai tiga lantai serta dua bangunan sayap di bagian kiri dan kanan.  Kompleks museum ini juga memiliki ruang bawah tanah yang pernah digunakan sebagai penjara. Sampai sekarang ruangan penjara bawah tanah ini masih bisa dilihat, lengkap dengan rantai untuk mengikat kaki narapidana serta terali. Di musim libur seperti saat saya datangi, di depan gedung Museum banyak sekali wisatawan domestik yang berphoto-photo dengan latar belakang bangunan dan menyewa sepeda. Semua museum yang kami kunjungi bertarif Rp 2.000,-/orang, jauh lebih murah dari tarif jalan tol, luar biasa.

Tertarik dengan pengalaman seorang teman, sayapun mencoba untuk mengikuti tour Kota Tua sekaligus ojek sepeda. Dengan tariff Rp 30. 000,- per sepeda, bisa kita gowes sendiri atau dibonceng sang pengojek mengelilingi   5 lokasi wisata lainnya. Sayapun menyewa 2 sepeda, saya dibonceng pak ojek sekaligus pemandu wisatanya dan dua putri saya dengan satu sepeda berboncengan. Tujuan pertama ojek sepeda adalah Pelabuhan Sunda Kelapa. Di pelabuhan yang sampai saat ini masih digunakan untuk distribusi barang ke berbagai pulau di Indonesia, kita bisa melihat langsung kegiatan bongkar muat barang ke kapal-kapal yang berjejer rapih di sepanjang pelabuhan.  




Tujuan selanjutnya adalah Museum Bahari yang letaknya agak jauh dari museum lainnya di Kota Tua Jakarta. Jaraknya sekitar 1 km di sebelah utara stasiun kereta Jakarta Kota. Kompleks Museum Bahari terdiri dari dua bangunan utama yang masing-masing memiliki dua lantai. Museum ini  awalnya adalah gudang penyimpanan rempah-rempah pada masa penjajahan Belanda.  Bangunan museum ini cukup bersih dan terawat, meski barang-barang koleksinya terlihat agak kusam.  Di lantai dasar Museum ini, dipamerkan aneka replika kapal serta rangkuman sejarah maritim di Kepulauan Nusantara. Lantai satu memamerkan bagian-bagian kapal serta peralatan navigasi kuno. Karena letaknya berdekatan, kami sempatkan pula untuk melihat Menara Syahbandar yang pernah menjadi titik kilometer nol kota Jakarta. Kami sempat naik ke lantai paling atas menara ini menggunakan tangga biasa (untungnya masih kuat), dan kita bisa menyaksikan pemandangan pelabuhan Sunda Kelapa. Karena banyak dilewati kendaraan berat (truk &  container), jika kita lihat dari luar menara ini sedikit miring ke kanan (seperti menara pisa di Italia), hehe.

Arah kembali ke pelataran Museum Fatahilah, kami sempatkan untuk melewati Jembatan Kota Intan. Jembatan ini pada jamannya menghubungkan Benteng Belanda dan Benteng Inggris yang terletak berseberangan dibatasi oleh Kali Besar – Kali Ciliwung, dan dapat diangkat untuk lalu lintas perahu serta untuk mencegah banjir yang sering terjadi.  Sempat berganti nama beberapa kali, setelah proklamasi kemerdekaan RI nama jembatan ini diganti menjadi ”Jembatan Kota Intan”, disesuaikan dengan nama lokasi setempat. Puas berphoto-photo (yang rutin dilakukan di setiap lokasi wisata), kamipun diajak melewati Toko Merah, yang letaknya tak jauh dari Jembatan Kota Intan. Dari namanya, memang  seluruh bangu


nan yang pernah dijadikan toko oleh warga keturunan cina itu  dicat warna merah. Meski kami tak sempat masuk ke dalam bangunan tsb (untungnya tdk masuk, karena ceritanya ternyata membuat merinding). 10 tahun setelah gedung ini berdiri, sekitar tahun 1740-an, di tempat ini terjadi kerusuhan berupa pembantaian besar-besaran terhadap 12 ribu warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Batavia.  Ribuan jenazah korban pembantaian itu dibuang di sungai Groote Rivier (Kali Besar) yang terdapat di depan bangunan ini. serem kannnnn.

Toko Merah adalah lokasi wisata terakhir yang kami kunjungi dengan ojek sepeda. Puas rasanya libur kali ini, tidak perlu mengeluarkan uang cukup besar namun bisa mengajak anak-anak mempelajari sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar