Desember 2011,
Liburan akhir tahun di dalam kota,
kenapa tidak? Ternyata ada kok beberapa loaksi wisata yang bisa dikunjungi dalam
sekali perjalanan, seperti yang saya lakukan bersama anak-anak.
Setelah sepakat untuk ke Kota Tua
karena putri saya yang kecil, Rissa sudah lama ingin berkunjung ke Museum Bank Mandiri, kamipun
sepakat untuk menggunakan kendaraan umum. Dari rumah di Cibubur kami mencoba
angkutan umum suttle bus jurusan Blok M dengan membayar Rp
10.000,-/orang. Jadwal suttle bus (ada beberapa jurusan) ternyata
tepat waktu (ada beberapa jadwal), pk 09.30 wib kami memulai petualangan. Berhenti
di halte Polda Metro Jaya, kami melalui jembatan penyebrangan yang langsung
berhubungan dengan loket busway. Perjalanan
diteruskan dengan menggunakan Busway Trans Jakarta tujuan Kota dengan tariff Rp
3.500,-/orang.
Sesampai di pemberhentian akhir halte
Kota, kamipun mengikuti jalur penumpang lain melewati underpass. Melewati
underpass serasa berada di Singapura, bedanya di negara tetangga underpass nya lebih bersih.
Di ujung underpass, langsung kita bertemu Museum Bank Mandiri. Tanpa banyak
buang waktu, kamipun menjelajahi museum ini. Koleksi yang ditampilkan Museum
Bank Mandiri merupakan rekaman sejarah perkembangan dunia perbankan Indonesia.
Barang-barang yang dipamerkan antara lain mesin hitung kuno, komputer dan
printer yang berusia beberapa dekade, bahkan dipamerkan pula mesin ATM dari
berbagai masa. Puas menjelajahi ruangan di dalam museum Bank Mandiri, kami pun
bergegas menuju Museum Bank Indonesia yang letaknya bersebelahan.
Di antara museum-museum yang ada di
kawasan Kota Tua, Museum Bank Indonesia merupakan museum yang paling modern.
Ruangannya dilengkapi AC dengan barang-barang koleksi yang ditata apik seperti
karya seni instalasi. Untuk menambah kesan modern, ruang pamer dilengkapi pula
dengan monitor layar sentuh, video, proyektor serta perlengkapan audio.
Kerennnn….(itu komentar yang keluar dari Tasya, anak saya yang pertama), hehe. Museum
ini merangkum sejarah Bank Indonesia sejak zaman Hindia Belanda hingga krisis
moneter yang terjadi pada akhir 1990-an. Bagian yang paling menarik di museum
ini adalah ruang nuministik yang memamerkan uang kertas serta koin dari
berbagai zaman. Pengunjung juga bisa memasuki ruang penyimpanan deposit emas
yang kini hanya diisi emas batangan tiruan.
![]() |
Museum Bank Indonesia |
Setelah puas dengan 2 museum ini,
kami pun beranjak ke Museum Wayang yang letaknya berdekatan dengan Museum
Fatahilah. Selain menampilkan koleksi wayang kulit dan wayang golek yang sudah
kita kenal, museum ini juga memamerkan wayang-wayang kontemporer serta wayang
dari luar negeri. Setiap hari Minggu pada minggu kedua, minggu ketiga dan
minggu terakhir setiap bulan, Museum Wayang menggelar pementasan wayang dengan
dalang-dalang terkenal. keluar dari Museum Wayang, sebeneranya saya ingin
berkunjung (kembali) ke Museum Fatahilah, Museum sejarah Jakarta,
sayangnya anak-anak dengan alasan sudah pernah tidak mau lagi masuk ke Bangunan
Museum Fatahilah yang selesai dibangun pada 1710 dan pernah menjadi kantor
gubernur Hindia Belanda. Kompleks bangunan ini cukup luas, terdiri dari
bangunan utama yang mempunyai tiga lantai serta dua bangunan sayap di bagian
kiri dan kanan. Kompleks museum ini juga
memiliki ruang bawah tanah yang pernah digunakan sebagai penjara. Sampai
sekarang ruangan penjara bawah tanah ini masih bisa dilihat, lengkap dengan
rantai untuk mengikat kaki narapidana serta terali. Di musim libur seperti saat
saya datangi, di depan gedung Museum banyak sekali wisatawan domestik yang
berphoto-photo dengan latar belakang bangunan dan menyewa sepeda. Semua museum
yang kami kunjungi bertarif Rp 2.000,-/orang, jauh lebih murah dari tarif jalan
tol, luar biasa.
Tertarik dengan pengalaman seorang
teman, sayapun mencoba untuk mengikuti tour Kota Tua sekaligus ojek sepeda.
Dengan tariff Rp 30. 000,- per sepeda, bisa kita gowes sendiri atau dibonceng
sang pengojek mengelilingi 5 lokasi
wisata lainnya. Sayapun menyewa 2 sepeda, saya dibonceng pak ojek sekaligus pemandu wisatanya dan dua putri saya dengan satu sepeda berboncengan. Tujuan pertama ojek sepeda adalah Pelabuhan Sunda Kelapa. Di pelabuhan
yang sampai saat ini masih digunakan untuk distribusi barang ke berbagai pulau
di Indonesia, kita bisa melihat langsung kegiatan bongkar muat barang ke
kapal-kapal yang berjejer rapih di sepanjang pelabuhan.
Tujuan selanjutnya adalah Museum
Bahari yang letaknya agak jauh dari museum lainnya di Kota Tua Jakarta.
Jaraknya sekitar 1 km di sebelah utara stasiun kereta Jakarta Kota. Kompleks
Museum Bahari terdiri dari dua bangunan utama yang masing-masing memiliki dua
lantai. Museum ini awalnya adalah gudang penyimpanan rempah-rempah pada masa penjajahan
Belanda. Bangunan museum ini cukup
bersih dan terawat, meski barang-barang koleksinya terlihat agak kusam. Di lantai dasar Museum ini, dipamerkan aneka
replika kapal serta rangkuman sejarah maritim di Kepulauan Nusantara. Lantai
satu memamerkan bagian-bagian kapal serta peralatan navigasi kuno. Karena letaknya
berdekatan, kami sempatkan pula untuk melihat Menara Syahbandar yang pernah
menjadi titik kilometer nol kota Jakarta. Kami sempat naik ke lantai paling
atas menara ini menggunakan tangga biasa (untungnya masih kuat), dan kita bisa menyaksikan
pemandangan pelabuhan Sunda Kelapa. Karena banyak dilewati kendaraan berat
(truk & container), jika kita lihat
dari luar menara ini sedikit miring ke kanan (seperti menara pisa di Italia),
hehe.
Arah kembali ke pelataran Museum
Fatahilah, kami sempatkan untuk melewati Jembatan Kota Intan. Jembatan ini pada
jamannya menghubungkan Benteng Belanda dan Benteng Inggris yang terletak
berseberangan dibatasi oleh Kali Besar – Kali Ciliwung, dan dapat diangkat
untuk lalu lintas perahu serta untuk mencegah banjir yang sering terjadi. Sempat berganti nama beberapa kali, setelah
proklamasi kemerdekaan RI nama jembatan ini diganti menjadi ”Jembatan Kota
Intan”, disesuaikan dengan nama lokasi setempat. Puas berphoto-photo (yang
rutin dilakukan di setiap lokasi wisata), kamipun diajak melewati Toko Merah,
yang letaknya tak jauh dari Jembatan Kota Intan. Dari namanya, memang seluruh bangu
Toko Merah adalah lokasi wisata
terakhir yang kami kunjungi dengan ojek sepeda. Puas rasanya libur kali ini,
tidak perlu mengeluarkan uang cukup besar namun bisa mengajak anak-anak
mempelajari sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar